Ketika kita berbicara tentang memo, maka yang timbul dalam benak kita adalah surat
kecil yang ditujukan kepada seseorang. Memo banyak digunakan oleh para pemimpin
perusahaan atau sejenisnya sebagi sebuah instruksi atau himbauan kepada para
bawahan. Memo sebagai alat bantu untuk mempermudah orang dalam menyampaikan
informasi. Namun alangkah miris, ketika memo itu masuk keranah pendidikan,
sebagai sebuah titipan yang berlebel himbauan. Ironis memang, ketika tahun ajaran
baru memo sangat “laku” untuk digunakan oleh orang-orang yang ingin melanjutka
pendidikan. Ya, memo dalam pendidikan diibaratkan sebagai titipan untuk
memperlancar proses penerimaan siswa atau bahkan mahasiswa. Memo inilah yang
dijadikan alasan oleh para pelaku dunia pendidikan untuk memperlancar proses
penerimaan tersebut. Berbagai alasan itu muncul ketika melihat atau menilai
dari segi kerabat, keluarga, teman, bahkan orang-orang yang tidak dia kenal.
Dengan mengutamakan prinsip “sama-sama untung”. Ya, yang menerima merasa untung
begitupun yang diterima. Namun mereka tidak berpikir bahwa keuntungan itu
hanyalah sesaat. Yang selanjutnya adalah kualitas instansi pendidikan yang
semakin menurun akibat dari penggadaian kualitas itu sendiri. Kualitas digadaikan
demi kepentingan lain yang hanya bertujuan sebagai toleransi. Ketika pendidikan
telah dipengaruhi oleh toleransi maka yang terjadi adalah kualitas pendidikan
yang semakin hilang dan prestasi yang semakin pudar. Banyak dari masyarakat
yang menilai bahwa terdapat sekolah atau perguruan tinggi yang berkualitas dan
juga favorit sehingga mereka berlomba-lomba agar bisa masuk di instansi
pendidikan tersebut. Salah satunya melalui “memo”. Akibatnya instansi tersebut
ibarat instansi yang mati karena nilai toleransi, sehingga yang didapat
bukanlah prestasi melainkan tidak lebih hanyalah sebatas nilai toleransi.
Instansi pendikan bukanlah wadah toleransi apabila ingin mencapai sebuah
prestasi. Wallahu’alam
No comments:
Post a Comment