Ir.
Soekarno pernah berkata, berikan aku lima maka akan kugoncangkan dunia ini.
Kondisi bangsa dapat dilihat dari kondisi pemuda. Pemuda sebagai pemimpin
bangsa selanjutnya. Maka dari itu pemuda yang akan menentukan nasib bangsa
selanjutnya. Bangsa yang baik adalah bangsa yang memiliki pemuda yang baik.
Kondisi bangsa dapat dilihat dari kondisi pemuda. Pemuda sebagai penentu nasib
bangsa selanjutnya, mau dibawa kemana bangsa ini selanjutnya tergantung
ditangan pemuda. Bukan artinya pemuda yang harus jadi pemimpin, namun pemuda
saat ini akan menjadi pemimpin dimasa yang akan datang. Artinya bahwa kondisi
pemuda pemuda saat inilah sebagai cerminan nasib bangsa kita yang akan datang.
Bagaimana jadinya jika pemuda saat ini selalu berbuat yang tidak sesuai dengan
norma hukum maupun aturan-aturan yang ada sekitarnya. Bagaimanakah jika bangsa
kita kelak dipimpin oleh para pecandu narkoba, penjudi, dan para-para pencuri.
Makin banyak koruptor dinegeri ini, jika yang akan terjadi demikian. Itu semua disebabkan
kondisi moral pemuda saat ini yang sangat memprihatinkan. Pemuda lebih menyukai
hiburan di dunia malam, layaknya gaya barat. Mereka tidak lagi mencintai timur
yang notabenenya merupakan budaya kita. maka dari bangsa yang besar sanagt
membutuhkan pemuda yang memiliki kepribadian yang baik agar dapat menjadikan
bangsa menjadi lebih maju. Alangkah indah jika negara kita memiliki para pemuda
yang peduli akan nasib bangsa tanpa mementingkan golongan tertentu.
Thursday, 11 October 2012
Tibaan dan Pengajian Sebagai Ajang Meningkatkan Ketaqwaan
Rabu 18 April 2012 mabna Al-Faraby
mengadakan tibaan di aula lantai 1 mabna al-faraby. Tibaan ini diikuti oleh
sekitar kurang lebih 20 peserta yang terdiri dari murabbi, musyrif, maupun
mahasantri baru. Kegitan ini telah rutin dilakukan setiap minggunya pada hari
rabu pukul 20.00 sampai dengan selesai. Selain diikuti oleh keluarga besar
Al-Faraby, kegiatan ini juga diikuti oleh musyrif-musyrif yang berasal dari
maba Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, serta Ibnu Kholdun. Salah satu musyrif yang enggan
disebutkan namanya menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan rutinan
yang penyelenggaranya merupakan musyrif Al-Faraby dan pesertanya adalah
musyrif-musyrif se Ma’had Sunan Ampel Ali, dalam acara ini juga menyediakan
makkanan yang berasal dari dana suka rela penyelenggara yang digilir per kamar
musyrif Al-Faraby. Harapan kami kegiatan ini nantinya dapat menjalain
silaturahmi antara keluarga besar MSAA, khususnya mabna putra, harapan beliau(red).
Ilmu atau Gelar ??
Dewasa
ini, negara Indonesia sedang dilanda oleh berbagai krisis yang dirasakan oleh
seluruh lapisan masyarakat. Salah satunya yaitu krisis ilmuan atau yang sering
kita sebut sebagai krisis Sumber Daya Manusia ( SDM ). Sehingga bangsa kita
selalu “tertinggal” dalam segala hal. Para ilmuan akademik di negara kita
kurang memiliki kontribusi terhadap bangsa ini. Bagaimana tidak, para ilmuan
hanya bisa berteori tapi sangat langka yang bisa melakukan aksi (
mengaplikasikan ilmu yang dimiliki ). Yang lbih menyedihkan krisis yang dialami
oleh bangsa ini adalah krisis kepercayaan. Untuk saat ini sulit kita menemukan
orang-orang yang dapat dipercaya. Kebohongan telah terjadi dimana-mana. Semakin
langka kejujuran yang menyebabkan sulit berkembangnya bangsa ini melalui
potensi-potensi yang dimiliki. Di setiap sudut selalu ada celah untuk melakukan
kebohongan. Kebohongan inilah yang teus menjalar ke berbagai lapisa masyarakat
tanpa memandang profesi ataupun jabatan. Virus kebohongan terus menggerogoti
bangsa kita. Sehingga kepercayaan sulit untuk diberikan dan orang yang dapat
dipercaya sulit untuk kita temukan. Kejujuran sudah menjadi suatu hal yang
langka, melebihi langkanya BBM. Bahkan kejujuran yang seharusnya kita harapkan
dari para pelaku akademik, calon-calon ilmua yang seyogyanya bisa dijadikan
contoh dan panutan bagi masyarakat semakin sulit untuk ditemukan. Mereka yang
seharusnya menjadi pendidik bangsa yang memiliki integritas. Disetiap jenjang
pendidikan telah terjadi kebohongan. Bahkan pada awal untuk meraih sarjana
dilakukan dengan kebohongan. Gelar yang didapatkan merupakan plagiasi dari
karya orang sebelumnya yang meraih gelar yang serupa. Lebih banyak jumlah
lulusan di perguruan tinggi di Indonesia dari pada jumlah hasil karya tulis
sebagai syarat untuk mereka mereka meraih gelar sarjana tersebut. Sehingga
untuk meraih gelar sarjana juga dilakukan melalui ketidakjujuran. Hanya
segelintir mahasiswa ( S1, S2, bahkan S3 ) yang meraih gelar dengan murni
kejujuran. Kejujuran semakin langka untuk kita temui. Banyak dari mahasiswa
disaat mereka mendapat tugas kuliah yang bisa mengcopy hasil karya orang lain.
Maka tidak heran jika untuk meraih gelar sarjana mereka hanya bisa mengcopy skripsi
yang telah ada sebelumnya. Dan perbuatan seperti itu terus berlanjut hingga
thesis dan disertasi yang merupakan syarat untuk meraih gelar tertinggi dalam
akademik yaitu doktor. Kebobrokan dunia pendidikan berlmula dari ketidak
jujuran tersebut. Bisa dibayangkan jika calon-calon doktor hanya bisa demikian,
bagaimana selanjutnya nasib dunia pendidikan kita? itulah sebagian besar
realita dunia pendidikan kita saat ini. Cara awal untuk sebuah negara bisa
bangkit yaitu melalui dunia pendidikan. Seperti yang telah dilakukan oleh
Jepang ketika mereka hancur oleh bom atom yang diledakkan di Hirosima dan
Nagasaki. Seluruh aspek jepang lumpuh dan penduduk Jepang ibarat seekor burng
yang kehilangan sayapnya. Namun yang dilakukan pertama kali oleh Jepang saat itu
ialah mencari guru yang tersisa, dan memajukan dunia pendidikan. Sehingga yang
terjadi sat ini Jepang menjadi negara maju dalam bidang teknologi dan ekonomi.
Jepang menjadi salah satu negara maju didunia saat ini. Itulah yang seharusnya
kita lakukan, memajukan dunia pendidikan melalui kejujuran. Awal kemajuan
bangsa bermula dari pendidikan yang nantinya menjalar keberbagai aspek yang ada
disebuah negara. Sehingga bermuara kepada kemajuan bangsa yang seungguhnya.
Ironis memang, ketika ketidakjujuran
yang selalu timbul dalam dunia pendidikan kita. Tidak sedikit dari para
pendidik berkata “ yang penting hasilnya baik, terserah bagaimana prosesnya “.
Dari kutipan tersebut, secara disengaja ataupun tidak, pendidik menganjurkan
kepada para pelajar untuk berbohong dan melakukan ketidak jujuran. Bagaimana
tidak, dari kutipan tersebut berarti pelajar diperbolehkan untuk mencontoh dan
mencopy hasil karya orang lain karena yang dibutuhkan hanyalah hasil, terserah
hasilnya dari mana yang penting hasilnya itu baik. Tidak ada lagi kepercayaan
diri dalam masyarakat kita, banyak dari kita yang tidak percaya diri akan
kemampuan yang kita miliki. Kita merasa minder terhadap orang lain, dan
menganggap orang lain itu lebih hebat dari kita. Padahal itu semua belum tentu,
sesungguhnya kita memiliki kemampuan yang sangat luar biasa apabila kita mampu
untuk mengasahnya. Namun, karena sudah terbiasa untuk mengcopy, sehingga kita
sering menganggap bahwa karya orang lainlah yang paling benar dan kita tidak
memiliki percaya diri untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang
kita miliki. Apakah ini yang diharapkan?
Coba kita berpikir untuk merubah itu
semua. Boleh kita negara jajahan, tapi janganlah bermental seperti jajahan,
janganlah mental kita yang dijajah karena ketidak jujuran yang terus
menggerogoti bangsa kita yang menyebabkan kita lebih bangga dengan orang lain
ketimbang kepada diri sendiri. Kita tidak memiliki kepercayaan untuk berani
berbuat. Yakinlah bahwa kita bisa, dan kebisaan itu harus diiringi dengan
keberanian. Sehingga kita akan lebih percaya diri untuk berkarya, tanpa harus
selalu tidak jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Untuk merubah itu semua, pola pikir
bangsa kita yang seharusnya diubah. Yang lebih utama tentunya para pelaku
dibidang akademik yang harus menyadari betapa pentingnya sebuah ilmu, betapa
bermanfaatnya ilmu pengetahuan. Bukan hanya sebuah gelar yang menjadi sebuah
kebanggaan. Banyak profesor, doktor dinegara kita. Tapi apakah mereka memiliki
ilmu sesuai dengan gelarnya? Marilah kita menyadari bahwa gelar itu merupakan
tanggung jawab terhadap orang lain akan ilmu yaang kita miliki. Apabila kita
memiliki ilmu yang tinggi yakinlah bahwa gelar akan mengiringi. Tapi jika kita
hanya mengejar sebuah gelar tanpa memikirkan ilmu maka yang terjadi kita akan
mendapatkan gelar tanpa arti. Malulah, sebagai sarjana dan para calon-calon
sarjana jika memiliki gelar yang tinggi namun tidak memiliki arti. Bangsa kita
tidak lagi membutuhkan teori, tapi yang diharapkan adalah aplikasi. Bangsa kita
akan maju jika para pelaku akademik, selain memiliki gelar yang tinggi juga
memiliki ilmu yang memilik arti sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Marilah
kita bersama-sama bangkit mendidik anak bangsa selanjutnya yang memiliki
kepribadian yang jujur dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Sehingga
bangsa kita akan menjadi bangsa yang terdidik, dan juga mendidik. Dengan
kepercayaan diri yang tinggi maka ketidak jujuran yang dilakukan selama ini
secara lambat laun akan hilang. Karena kita yakin akan kemampuan yang kita
miliki. Sehingga nantinya bangsa kita akan menjadi bangsa yang maju dan
memiliki mental yang kuat. Semoga pendidikan di negara kita ini menjadi
pendidikan yang jujur yang menghasilkan lulusan-lulusan yag jujur dan memahami
betapa pentingnya ilmu pengetahuan untuk dirinya dan orang lain.
Kedamaian
Aceh, provinsi
yang selalu saya banggakan kemanapun saya melangkah. Terbesit diingatan ketika
konflik mendera. Setiap malam saya mendengar suara dentuman senjata yang begitu
dahsyat. Mayat yang diturunkan dari hutan korban peperangan yang terjadi,
masyarakat diselimuti ketakuan, alangkah masyarakat yang tak berdosa menjadi
korban konflik yang berkepanjangan. Rakyat mengalami trauma psikis yang sangat
mengerikan. Mereka melihat penyikasaan dimasa konflik, orang berlarian untuk
menyelamatkan diri. Mereka melihat korban kontak senjata yang yang berlumuran
darah. Namun alangkah indahya hampir tujuh tahun berselang, rakyat Aceh
merasakan kedamaian yang begitu indah. Pada tahun 2005 yang lalu, kedamaian
terwujud setelah terjadinya cobaan yang begitu dasyat, yaitu tsunami. Kedamaian
terwujud, namun ingatan rakyat akan peristiwa yang konflik begitu tidak akan
pernah dilupakan. Walaupun keadaan aman, namun rakyat masih mengalami trauma
yang mendalam, pada saat lebaran saja ketika banyak petasan-petasan yang
beredar, masyarakat takut ketika mendengar bunyi petasan, tidak sedikit
masyarakat yang tiarap dikarenakan mereka mengira bunyi petasan itu merupakan
bunyi senjata. Dalam ilmu psikologi manusia tidak akan lupa dengan kejadian
telah dilaluinya apalagi dalam jangka waktu yang lama. Memori mereka akan
mengingat kejadian-kejadian yang telah dilaluinya.
Indahnya
Kedamaian
Sejak 15 Agustus 2005 yang lalu
masyarakat Aceh telah sedikit mengalami ketenangan akibat perdamaian yang telah
terwujud, masyarakat didaerah pedalaman tidak lagi takut untuk bepergian keluar
kota. Layaknya semasa konflik. Rakyat bebas kemanpun mereka mau. Masyarakat
memiliki ketenangan dalam beraktifitas dan mengais rezeki. Tidak ada lagi
kekhawatiran untuk bepergian dan melakukan aktifitas. Perekonomian pun mulai
maju, banyak investor-investor dari dalam negeri maupun luar negeri masuk ke
Aceh untuk berinvestasi dan membangun perekonomian Aceh dengan memanfaatkan
sumber daya yang ada di bumi Serambi Mekkah ini. Alangkah indah ketika
masyarakat bisa menjalin silaturahmi dengan berlibur ke rumah-rumah saudara
yang ada di perkotaan maupun di luar kota.
Kedamaian
Yang Dikorbankan
Namun, alangkah
sedihnya kedamaian yang selama ini telah dirasakan harus terusik dengan
kepentingan-kepentingan oknum tertentu. Masyarakat dikhawatirkan kembali oleh
keamanan yang tidak tejamin. Bermula ketika waktu pilkada sudah semakin dekat,
teror semakin marak terjadi di Aceh. Terjadi perebutan kekuasaan, karena banyak
orang yang ingin berkuasa sehingga ada oknum-oknum tertentu memanfaatkan
keadaan untuk memperkeruh suasana. Ya, kedamaian mulai terusik, oktum-oknum
berebut kekuasan sehingga melupakan rakyat yang seharusnya disejahterakan.
Banyak penembakan yang terjadi hingga saat ini. Bahkan, beberapa hari yang lalu
terjadi penembakan di Bireun, Banda Aceh, dan Aceh Utara yang mengorbankan
rakyat. Rakyat menjadi korban penembakan dari oknum yang tak dikenal. Alangkah
sedihnya rakyat yang tidak bersalah kembali harus dikhawatirkan oleh kondisi
yang mulai tidak kondusif. Rakyat
menjadi khawatir, akan kondisi keamanan mereka. Terbesit tanya di benak mereka
akankah peristiwa puluhan tahun lalu kembali terulang? akankah keadaan yang
selama 6 tahun ini mereka rasakan baru akan hilang dan kembali ke keadaan
sebelumnya? Tentu masyarakat tidak ingin masa kelam itu kembali terulang. Para
pemimpin yang memiliki kewenangan dan kekuasaan seharusnya lebih memikirkan
kondisi rakyatnya bukan memperebutkan kekuasaannya demi kepentingan sekelompok.
Rakyat telah lelah berjuang, rakyat telah lelah meraskan peperangan dan bahkan
menjadi korban selama ini. Rakyat ingin memperoleh rasa keamanan dan
kesejahteraan. Mereka tidak ingin kondisi kelam yang telah lalu berulang.
Alangkah sedihnya kondisi rakyat ketika dalam pengungsian. Mereka tidak hak
aman yang harus mereka peroleh harus dikorbankan demi kepentingan sejumlah
orang. Kedamaian janganlah menjadi korban sehingga rakyat akan menderita. Ada
oknum-oknum tertentu yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk mengusik
kedamaian yang telah berjalan. Marilah kita bangun Aceh dengan bersama-sama
demi kepentingan rakyat yang memiliki banyak harapan untuk kemajuan negeri bumi
Serambi Mekkah ini. Apakah harus azab seperti yang terjadi tahun 2004 lalu terulang
kembali dikarenakan ulah kelompok-kelompok yang ingin memiliki kekuasaan dengan
cara mengataskannamakan rakyat namun tidak memikirkan kepentingan rakyatnya.
Rakyat Aceh ingin kedamaian, rakyat Aceh ingin hidup aman dan sejahtera. Bangun
bumi Aceh ini dengan cara yang baik tanpa harus ada pertumpahan darah, utamakan
kepentingan rakyat yang ingin hidup aman dan sejahtera.
Revolusi Penjara Menjadi Sebuah Pesantren
Kondisi Alumni Penjara
Indonesia saat ini sedang
mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain masalah kemiskinan yang
tak kunjung selesai, kriminalitas pun semakin meningkat. Bahkan tidak ada jalan
keluar untuk penyelesaian
masalah kriminalitas, tidak ada penurunan tingkat kriminalitas walaupun telah
dilakukan berbagai macam hukuman. Ironisnya, banyak dari alumni dari hotel
prodeo ataupun bisa kita sebut sebagai narapidanawan yang telah mendekam sekian
lama di dalam penjara mengulangi kejahatannya hingga berulangkali. Disayangkan sekali,
alumni-alumni lulusan lembaga
pemasyarakatan tidak ada yang bisa dijadikan contoh dan bahkan sering
dikucilkan dalam masyarakat. Penjara hanya dijadikan tempat persinggahan, bukan
menjadi tempat pemulihan dan penyadaran bagi yang telah dinyatakan bersalah. Konon, orang yang telah
merasa bersalah dan
dijebloskan ke penjara biasanya berada pada titik nol. Sejatinya, dalam
kondisi seperti itu sangat mudah untuk merubah pemikiran mereka agar sadar dan
kembali melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, dan meninggalkan serta
melupakan tindak kriminal yang pernah dilakukannya.
Penjara Saat Ini
Istilah penjara, mungkin menjadi hal yang kurang atau tidak menyenangkan
bagi diri manusia, terlebih bagi
orang-orang yang memiliki kesalahan baik kriminal maupun kejahatan non-kriminal yang notabene dapat merugikan
orang lain. Setiap orang yang divonis bersalah selalu berhubungan dengan
penjara setelah melalui proses di pengadilan. Mereka mendekam di penjara untuk
mempertanggungjawabkan kejahatannya sesuai hukum yang telah diatur dalam
undang-undang. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar bangsa kita saat ini
adalah seberapa besar pengaruh penjara terhadap tingkat kejahatan di negeri
ini.
Alangkah sedihnya saat ini, para narapidana yang ada di dalam penjara bukan untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya, bahkan melanjutkan kejahatannya. Seperti banyak fakta yang didapat di mana para narapidana melakukan peredaran narkoba di dalam Lembaga Permasyarakatan. Penjara seperti tidak ada manfaatnya, penjara bahkan menjadi pusat peredaran narkoba bagi narapidana. Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Penjara yang seharusnya menjadi tempat yang bisa dipercaya untuk memulihkan para-para penjahat yang sangat meresahkan, malah menempah bakat para penjahat. Bahkan mereka yang sebelumnya sangat amatir dalam kejahatan menjadi sangat profesional setelah mereka keluar dari penjara.
Alangkah sedihnya saat ini, para narapidana yang ada di dalam penjara bukan untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya, bahkan melanjutkan kejahatannya. Seperti banyak fakta yang didapat di mana para narapidana melakukan peredaran narkoba di dalam Lembaga Permasyarakatan. Penjara seperti tidak ada manfaatnya, penjara bahkan menjadi pusat peredaran narkoba bagi narapidana. Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Penjara yang seharusnya menjadi tempat yang bisa dipercaya untuk memulihkan para-para penjahat yang sangat meresahkan, malah menempah bakat para penjahat. Bahkan mereka yang sebelumnya sangat amatir dalam kejahatan menjadi sangat profesional setelah mereka keluar dari penjara.
Dari
berbagai kasus yang terjadi di penjara dalam periodesasi sejarah narapidawan di
negeri ini selalu ada terdengar ke publik tentang para tersangka yang bebas
keluar masuk penjara kapanpun dia mau selama dia masih memiliki uang untuk
membeli kekuasaan dan keadilan. Seperti kasus Gayus Tambunan misalnya, yang bisa bebas kemanapun dia
mau. Padahal dia berstatus sebagai tersangka dan melakukan proses hukuman di
penjara. Ada juga para mafia hukum, tersangka kasus korupsi lain yang
menjadikan penjara sebagai tempat istirahat layaknya hotel bintang 5. Mereka
bisa menikmati apapun yang mereka mau. Kalau kasusnya demikian, untuk apa
dibuat penjara yang hanya menghabiskan
APBN setiap tahunnya? Mau dikemanakan negeri ini kalau para penjahat bisa bebas dan
melakukan kejahatannya berulang kali dan tidak ada efek jera? Yang selama ini menjadi amanat undang-undang dalam pembentukan
penjara. Para penjahat yang tidak memiliki uang bagaikan imbas dari keburukan
penjara. Bagaimana tidak, dari kondisi psikis jelas akan timbul kecemburuan sosial dengan para tahanan yang memiliki
uang. Sehingga imbasnya mereka akan brutal dan mengulangi kejahatannya akibat
dari rasa tidak puas karena tidak adanya keadilan yang mereka terima. Mereka
tidak bisa berontak karena tidak memiliki wewenang dan kekuasaan, di mata
mereka kekuasaan hanya milik orang-orang yang memilki uang.
Tidak sedikit narapidana yang
medekam dipenjara merupakan wajah-wajah lama yang telah berulang kali masuk
penjara. Jadi di mana letak kegunaan penjara yang selama ini dikenal sebagai
suatu tempat menebus dosa dan efek jera bagi para tersangka, yang kenyataannya
mereka tidak memiliki rasa jera dan tidak ada perubahan yang terjadi pada diri
mereka. Untuk apa vonis hukuman
10 hingga 20 tahun namun tidak ada manfaatnya bagi narapidana. Ini merupakan realitas umum yang kita dapatkan
saat ini. Jelas ada yang salah dari sistem penjara itu sendiri. Yang seharusnya
menjadi tempat perbaikan moral, bukan malah menjadi tempat penghancuran moral.
Itulah yang terjadi saat ini, masyarakat mulai berpikir untuk apa adanya
penjara kalau tindak kejahatannya semakin meningkat.
Revolusi Penjara
Untuk itu sebaiknya sudah saatnya pemimpin-pemimpin negeri ini dapat
memikirkan sebuah revolusi bagi penjara! Revolusi penjara harus segera
dilakukan agar masalah
ini tidak terlalu lama dan dapat
berdampak kepada lunturnya eksistensi jatidiri bangsa
dikarenakan kondisi moral anak bangsa sudah berada pada titik yang memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan. Alangkah
indahnya jika penjara diubah ibarat menjadi sebuah pondok pesantren (ponpes). Ya, segalanya dibuat layaknya
pondok pesantren. Bagaimana di
ponpes demikian pula di penjara. Para bang napi diwajibkan beribadah,
diajarkan ilmu-ilmu
agama dan ilmu modern sesuai dengan kurikulum pondok pesantren (atau dengan ajaran agama masing-masing bagi non-muslim).
Semuanya mengadopsi sistem pesantren. Yang membedakannya hanya tempat
mereka tidur yang berjeruji besi. Jadi penjara bukan hanya untuk tempat mereka
makan tidur, ada perbaikan moral yang dilakukan dalam penjara. Selain itu, para bang napi juga diharuskan menerapkan
ilmu-ilmu agama yang telah mereka pelajari, sehingga moral mereka dapat
diperbaiki.
Tak hanya itu, mereka juga nantinya akan dibekali ilmu modern seperti bahasa Inggris maupun
bahasa Arab. Sehingga
keahlian yang ada dalam diri mereka dapat dikembangkan dan bermanfaat setelah
mereka keluar dari penjara. Banyak kejahatan terjadi dikarenakan mereka tidak
tahu ataupun lupa akan dosa yang didapatkan. Disinilah peran penjara untuk
memperbaiki, memberi tahu, bahkan mengingatkan mereka agar mereka tidak
melakukannya lagi. Bahkan
mereka nantinya akan
memiliki keahlian untuk mereka gunakan sebagai media mengais rezeki sehingga
kejahatan akan berkurang dan tidak mustahil kejahatan itu akan hilang.
Sistem ini selain dapat
menyadarkan mereka juga dapat
membentuk kepribadian
mereka layaknya ustadz
ataupun tokoh agama lainnya. Selama 10 tahun mereka divonis dalam penjara,
ibarat 10 tahun mereka berada di pesantren. Maka efeknya akan sangat baik bagi
bangsa ini, setelah mereka keluar dipenjara mereka akan menjadi orang yang taat
beribadah, berilmu pengetahuan, berakhlak mulia, dan memiliki kematangan
profesional yang siap ditempatkan dalam masyarakat layaknya manusia ulul albab.
Sehingga tak ada lagi alasan untuk mereka melakukan kejahatan. Bahkan mereka
dapat menyadarkan sesama rekan dengan ilmu yang diperoleh selama di penjara.
Lantas bagaimana dengan para tersangka yang beragama selain Islam? Sangat jelas bahwa
seluruh agama mengajarkan hal kebaikan
bagi setiap manusia. Tidak ada satu agama pun yang menganjurkan tindak
kejahatan. Maka dari itu diberlakukan juga kurikulum menurut agama mereka
masing–masing yang seluruhnya bertujuan untuk menjadikan alumni penjara menjadi
yang bermanfaat di lingkungannya masing-masing setelah mereka menempuh pendidikan
di dalam penjara. Kalau ini dapat dilakukan, tindak kejahatan di negeri kita akan berkurang bahkan akan
hilang. Dan bangsa kita akan menjadi bangsa yang maju dan sejahtera sesuai yang
dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita. Penjara bukan menjadi neraka bagi
para tersangka tapi penjara akan membawa para tersangka menjadi orang-orang
yang ahli surga. Semoga !!!
Memo Pendidikan
Ketika kita berbicara tentang memo, maka yang timbul dalam benak kita adalah surat
kecil yang ditujukan kepada seseorang. Memo banyak digunakan oleh para pemimpin
perusahaan atau sejenisnya sebagi sebuah instruksi atau himbauan kepada para
bawahan. Memo sebagai alat bantu untuk mempermudah orang dalam menyampaikan
informasi. Namun alangkah miris, ketika memo itu masuk keranah pendidikan,
sebagai sebuah titipan yang berlebel himbauan. Ironis memang, ketika tahun ajaran
baru memo sangat “laku” untuk digunakan oleh orang-orang yang ingin melanjutka
pendidikan. Ya, memo dalam pendidikan diibaratkan sebagai titipan untuk
memperlancar proses penerimaan siswa atau bahkan mahasiswa. Memo inilah yang
dijadikan alasan oleh para pelaku dunia pendidikan untuk memperlancar proses
penerimaan tersebut. Berbagai alasan itu muncul ketika melihat atau menilai
dari segi kerabat, keluarga, teman, bahkan orang-orang yang tidak dia kenal.
Dengan mengutamakan prinsip “sama-sama untung”. Ya, yang menerima merasa untung
begitupun yang diterima. Namun mereka tidak berpikir bahwa keuntungan itu
hanyalah sesaat. Yang selanjutnya adalah kualitas instansi pendidikan yang
semakin menurun akibat dari penggadaian kualitas itu sendiri. Kualitas digadaikan
demi kepentingan lain yang hanya bertujuan sebagai toleransi. Ketika pendidikan
telah dipengaruhi oleh toleransi maka yang terjadi adalah kualitas pendidikan
yang semakin hilang dan prestasi yang semakin pudar. Banyak dari masyarakat
yang menilai bahwa terdapat sekolah atau perguruan tinggi yang berkualitas dan
juga favorit sehingga mereka berlomba-lomba agar bisa masuk di instansi
pendidikan tersebut. Salah satunya melalui “memo”. Akibatnya instansi tersebut
ibarat instansi yang mati karena nilai toleransi, sehingga yang didapat
bukanlah prestasi melainkan tidak lebih hanyalah sebatas nilai toleransi.
Instansi pendikan bukanlah wadah toleransi apabila ingin mencapai sebuah
prestasi. Wallahu’alam
Subscribe to:
Posts (Atom)