Pages

Saturday 22 December 2012

Sang Ploklamator " Bukan " Sang Pahlawan



10 November diperingati sebagai hari pahlawan di negeri tercinta Indonesia. Hari pahlawan yang menjadi hari tersendiri sebagai penghargaan bagi jasa-jasa para pahlawan negeri ini. Begitu banyak pahlawan yang kita kenal seperti Cut Nyak Dhien, Hasyim Asyari, Imam Bondjol dan lain sebagainya yang bergelar sebagai Pahlawan Nasional. Banyak sejarah mencatat bahwa perjuangan bangsa ini dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan begitu berat. Banyak korban berjatuhan. Harta, tahta, dan nyawa menjadi taruhan dalam setiap peperangan yang terjadi selama lebih dari 3 setengah abad. Penderitaan yang dirasakan pejuang masa lalu menjadi kenikmatan yang dapat dirasakan oleh anak cucu mereka saat ini. Kita bisa merasakan bagaimana arti dan manfaat dari kebebasan yang telah kita peroleh

Sebagai mahasiswa tentu harus sadar bahwa perjuangan masa lalu tidak lah berat. Tidak ada kenikmatan yang dapat dirasakan tanpa melalui perjuangan. Tapi ketika hari itu tiba, tepat pada tanggal 10 November 2012 Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono memberikan anugrah gelar “ Pahlawan Nasional “ kepada sang proklamator sekaligus Presiden pertama negeri ini Dr. ( HC ). Ir. H. Soekarno atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Bung Karno di Istana Presiden yang diterima oleh Megawati Soekarnoputri. Tentu selaku mahasiswa saya merasa bangga ketika ada penganugerahan itu, namun yang menjadi pertanyaan dan kejanggalan dipikiran seorang mahasiswa adalah mengapa gelar itu baru sekarang?

Thursday 11 October 2012

Pemuda Sebagai Ujung Tombak Kemajuan Bangsa


Ir. Soekarno pernah berkata, berikan aku lima maka akan kugoncangkan dunia ini. Kondisi bangsa dapat dilihat dari kondisi pemuda. Pemuda sebagai pemimpin bangsa selanjutnya. Maka dari itu pemuda yang akan menentukan nasib bangsa selanjutnya. Bangsa yang baik adalah bangsa yang memiliki pemuda yang baik. Kondisi bangsa dapat dilihat dari kondisi pemuda. Pemuda sebagai penentu nasib bangsa selanjutnya, mau dibawa kemana bangsa ini selanjutnya tergantung ditangan pemuda. Bukan artinya pemuda yang harus jadi pemimpin, namun pemuda saat ini akan menjadi pemimpin dimasa yang akan datang. Artinya bahwa kondisi pemuda pemuda saat inilah sebagai cerminan nasib bangsa kita yang akan datang. Bagaimana jadinya jika pemuda saat ini selalu berbuat yang tidak sesuai dengan norma hukum maupun aturan-aturan yang ada sekitarnya. Bagaimanakah jika bangsa kita kelak dipimpin oleh para pecandu narkoba, penjudi, dan para-para pencuri. Makin banyak koruptor dinegeri ini, jika yang akan  terjadi demikian. Itu semua disebabkan kondisi moral pemuda saat ini yang sangat memprihatinkan. Pemuda lebih menyukai hiburan di dunia malam, layaknya gaya barat. Mereka tidak lagi mencintai timur yang notabenenya merupakan budaya kita. maka dari bangsa yang besar sanagt membutuhkan pemuda yang memiliki kepribadian yang baik agar dapat menjadikan bangsa menjadi lebih maju. Alangkah indah jika negara kita memiliki para pemuda yang peduli akan nasib bangsa tanpa mementingkan golongan tertentu.

Tibaan dan Pengajian Sebagai Ajang Meningkatkan Ketaqwaan


Rabu 18 April 2012 mabna Al-Faraby mengadakan tibaan di aula lantai 1 mabna al-faraby. Tibaan ini diikuti oleh sekitar kurang lebih 20 peserta yang terdiri dari murabbi, musyrif, maupun mahasantri baru. Kegitan ini telah rutin dilakukan setiap minggunya pada hari rabu pukul 20.00 sampai dengan selesai. Selain diikuti oleh keluarga besar Al-Faraby, kegiatan ini juga diikuti oleh musyrif-musyrif yang berasal dari maba Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, serta Ibnu Kholdun. Salah satu musyrif yang enggan disebutkan namanya menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan rutinan yang penyelenggaranya merupakan musyrif Al-Faraby dan pesertanya adalah musyrif-musyrif se Ma’had Sunan Ampel Ali, dalam acara ini juga menyediakan makkanan yang berasal dari dana suka rela penyelenggara yang digilir per kamar musyrif Al-Faraby. Harapan kami kegiatan ini nantinya dapat menjalain silaturahmi antara keluarga besar MSAA, khususnya mabna putra, harapan beliau(red).

Ilmu atau Gelar ??


Dewasa ini, negara Indonesia sedang dilanda oleh berbagai krisis yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satunya yaitu krisis ilmuan atau yang sering kita sebut sebagai krisis Sumber Daya Manusia ( SDM ). Sehingga bangsa kita selalu “tertinggal” dalam segala hal. Para ilmuan akademik di negara kita kurang memiliki kontribusi terhadap bangsa ini. Bagaimana tidak, para ilmuan hanya bisa berteori tapi sangat langka yang bisa melakukan aksi ( mengaplikasikan ilmu yang dimiliki ). Yang lbih menyedihkan krisis yang dialami oleh bangsa ini adalah krisis kepercayaan. Untuk saat ini sulit kita menemukan orang-orang yang dapat dipercaya. Kebohongan telah terjadi dimana-mana. Semakin langka kejujuran yang menyebabkan sulit berkembangnya bangsa ini melalui potensi-potensi yang dimiliki. Di setiap sudut selalu ada celah untuk melakukan kebohongan. Kebohongan inilah yang teus menjalar ke berbagai lapisa masyarakat tanpa memandang profesi ataupun jabatan. Virus kebohongan terus menggerogoti bangsa kita. Sehingga kepercayaan sulit untuk diberikan dan orang yang dapat dipercaya sulit untuk kita temukan. Kejujuran sudah menjadi suatu hal yang langka, melebihi langkanya BBM. Bahkan kejujuran yang seharusnya kita harapkan dari para pelaku akademik, calon-calon ilmua yang seyogyanya bisa dijadikan contoh dan panutan bagi masyarakat semakin sulit untuk ditemukan. Mereka yang seharusnya menjadi pendidik bangsa yang memiliki integritas. Disetiap jenjang pendidikan telah terjadi kebohongan. Bahkan pada awal untuk meraih sarjana dilakukan dengan kebohongan. Gelar yang didapatkan merupakan plagiasi dari karya orang sebelumnya yang meraih gelar yang serupa. Lebih banyak jumlah lulusan di perguruan tinggi di Indonesia dari pada jumlah hasil karya tulis sebagai syarat untuk mereka mereka meraih gelar sarjana tersebut. Sehingga untuk meraih gelar sarjana juga dilakukan melalui ketidakjujuran. Hanya segelintir mahasiswa ( S1, S2, bahkan S3 ) yang meraih gelar dengan murni kejujuran. Kejujuran semakin langka untuk kita temui. Banyak dari mahasiswa disaat mereka mendapat tugas kuliah yang bisa mengcopy hasil karya orang lain. Maka tidak heran jika untuk meraih gelar sarjana mereka hanya bisa mengcopy skripsi yang telah ada sebelumnya. Dan perbuatan seperti itu terus berlanjut hingga thesis dan disertasi yang merupakan syarat untuk meraih gelar tertinggi dalam akademik yaitu doktor. Kebobrokan dunia pendidikan berlmula dari ketidak jujuran tersebut. Bisa dibayangkan jika calon-calon doktor hanya bisa demikian, bagaimana selanjutnya nasib dunia pendidikan kita? itulah sebagian besar realita dunia pendidikan kita saat ini. Cara awal untuk sebuah negara bisa bangkit yaitu melalui dunia pendidikan. Seperti yang telah dilakukan oleh Jepang ketika mereka hancur oleh bom atom yang diledakkan di Hirosima dan Nagasaki. Seluruh aspek jepang lumpuh dan penduduk Jepang ibarat seekor burng yang kehilangan sayapnya. Namun yang dilakukan pertama kali oleh Jepang saat itu ialah mencari guru yang tersisa, dan memajukan dunia pendidikan. Sehingga yang terjadi sat ini Jepang menjadi negara maju dalam bidang teknologi dan ekonomi. Jepang menjadi salah satu negara maju didunia saat ini. Itulah yang seharusnya kita lakukan, memajukan dunia pendidikan melalui kejujuran. Awal kemajuan bangsa bermula dari pendidikan yang nantinya menjalar keberbagai aspek yang ada disebuah negara. Sehingga bermuara kepada kemajuan bangsa yang seungguhnya.
Ironis memang, ketika ketidakjujuran yang selalu timbul dalam dunia pendidikan kita. Tidak sedikit dari para pendidik berkata “ yang penting hasilnya baik, terserah bagaimana prosesnya “. Dari kutipan tersebut, secara disengaja ataupun tidak, pendidik menganjurkan kepada para pelajar untuk berbohong dan melakukan ketidak jujuran. Bagaimana tidak, dari kutipan tersebut berarti pelajar diperbolehkan untuk mencontoh dan mencopy hasil karya orang lain karena yang dibutuhkan hanyalah hasil, terserah hasilnya dari mana yang penting hasilnya itu baik. Tidak ada lagi kepercayaan diri dalam masyarakat kita, banyak dari kita yang tidak percaya diri akan kemampuan yang kita miliki. Kita merasa minder terhadap orang lain, dan menganggap orang lain itu lebih hebat dari kita. Padahal itu semua belum tentu, sesungguhnya kita memiliki kemampuan yang sangat luar biasa apabila kita mampu untuk mengasahnya. Namun, karena sudah terbiasa untuk mengcopy, sehingga kita sering menganggap bahwa karya orang lainlah yang paling benar dan kita tidak memiliki percaya diri untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Apakah ini yang diharapkan?
Coba kita berpikir untuk merubah itu semua. Boleh kita negara jajahan, tapi janganlah bermental seperti jajahan, janganlah mental kita yang dijajah karena ketidak jujuran yang terus menggerogoti bangsa kita yang menyebabkan kita lebih bangga dengan orang lain ketimbang kepada diri sendiri. Kita tidak memiliki kepercayaan untuk berani berbuat. Yakinlah bahwa kita bisa, dan kebisaan itu harus diiringi dengan keberanian. Sehingga kita akan lebih percaya diri untuk berkarya, tanpa harus selalu tidak jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Untuk merubah itu semua, pola pikir bangsa kita yang seharusnya diubah. Yang lebih utama tentunya para pelaku dibidang akademik yang harus menyadari betapa pentingnya sebuah ilmu, betapa bermanfaatnya ilmu pengetahuan. Bukan hanya sebuah gelar yang menjadi sebuah kebanggaan. Banyak profesor, doktor dinegara kita. Tapi apakah mereka memiliki ilmu sesuai dengan gelarnya? Marilah kita menyadari bahwa gelar itu merupakan tanggung jawab terhadap orang lain akan ilmu yaang kita miliki. Apabila kita memiliki ilmu yang tinggi yakinlah bahwa gelar akan mengiringi. Tapi jika kita hanya mengejar sebuah gelar tanpa memikirkan ilmu maka yang terjadi kita akan mendapatkan gelar tanpa arti. Malulah, sebagai sarjana dan para calon-calon sarjana jika memiliki gelar yang tinggi namun tidak memiliki arti. Bangsa kita tidak lagi membutuhkan teori, tapi yang diharapkan adalah aplikasi. Bangsa kita akan maju jika para pelaku akademik, selain memiliki gelar yang tinggi juga memiliki ilmu yang memilik arti sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Marilah kita bersama-sama bangkit mendidik anak bangsa selanjutnya yang memiliki kepribadian yang jujur dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Sehingga bangsa kita akan menjadi bangsa yang terdidik, dan juga mendidik. Dengan kepercayaan diri yang tinggi maka ketidak jujuran yang dilakukan selama ini secara lambat laun akan hilang. Karena kita yakin akan kemampuan yang kita miliki. Sehingga nantinya bangsa kita akan menjadi bangsa yang maju dan memiliki mental yang kuat. Semoga pendidikan di negara kita ini menjadi pendidikan yang jujur yang menghasilkan lulusan-lulusan yag jujur dan memahami betapa pentingnya ilmu pengetahuan untuk dirinya dan orang lain. 

Kedamaian


Aceh, provinsi yang selalu saya banggakan kemanapun saya melangkah. Terbesit diingatan ketika konflik mendera. Setiap malam saya mendengar suara dentuman senjata yang begitu dahsyat. Mayat yang diturunkan dari hutan korban peperangan yang terjadi, masyarakat diselimuti ketakuan, alangkah masyarakat yang tak berdosa menjadi korban konflik yang berkepanjangan. Rakyat mengalami trauma psikis yang sangat mengerikan. Mereka melihat penyikasaan dimasa konflik, orang berlarian untuk menyelamatkan diri. Mereka melihat korban kontak senjata yang yang berlumuran darah. Namun alangkah indahya hampir tujuh tahun berselang, rakyat Aceh merasakan kedamaian yang begitu indah. Pada tahun 2005 yang lalu, kedamaian terwujud setelah terjadinya cobaan yang begitu dasyat, yaitu tsunami. Kedamaian terwujud, namun ingatan rakyat akan peristiwa yang konflik begitu tidak akan pernah dilupakan. Walaupun keadaan aman, namun rakyat masih mengalami trauma yang mendalam, pada saat lebaran saja ketika banyak petasan-petasan yang beredar, masyarakat takut ketika mendengar bunyi petasan, tidak sedikit masyarakat yang tiarap dikarenakan mereka mengira bunyi petasan itu merupakan bunyi senjata. Dalam ilmu psikologi manusia tidak akan lupa dengan kejadian telah dilaluinya apalagi dalam jangka waktu yang lama. Memori mereka akan mengingat kejadian-kejadian yang telah dilaluinya.

Indahnya Kedamaian
                Sejak 15 Agustus 2005 yang lalu masyarakat Aceh telah sedikit mengalami ketenangan akibat perdamaian yang telah terwujud, masyarakat didaerah pedalaman tidak lagi takut untuk bepergian keluar kota. Layaknya semasa konflik. Rakyat bebas kemanpun mereka mau. Masyarakat memiliki ketenangan dalam beraktifitas dan mengais rezeki. Tidak ada lagi kekhawatiran untuk bepergian dan melakukan aktifitas. Perekonomian pun mulai maju, banyak investor-investor dari dalam negeri maupun luar negeri masuk ke Aceh untuk berinvestasi dan membangun perekonomian Aceh dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di bumi Serambi Mekkah ini. Alangkah indah ketika masyarakat bisa menjalin silaturahmi dengan berlibur ke rumah-rumah saudara yang ada di perkotaan maupun di luar kota.



Kedamaian Yang Dikorbankan
Namun, alangkah sedihnya kedamaian yang selama ini telah dirasakan harus terusik dengan kepentingan-kepentingan oknum tertentu. Masyarakat dikhawatirkan kembali oleh keamanan yang tidak tejamin. Bermula ketika waktu pilkada sudah semakin dekat, teror semakin marak terjadi di Aceh. Terjadi perebutan kekuasaan, karena banyak orang yang ingin berkuasa sehingga ada oknum-oknum tertentu memanfaatkan keadaan untuk memperkeruh suasana. Ya, kedamaian mulai terusik, oktum-oknum berebut kekuasan sehingga melupakan rakyat yang seharusnya disejahterakan. Banyak penembakan yang terjadi hingga saat ini. Bahkan, beberapa hari yang lalu terjadi penembakan di Bireun, Banda Aceh, dan Aceh Utara yang mengorbankan rakyat. Rakyat menjadi korban penembakan dari oknum yang tak dikenal. Alangkah sedihnya rakyat yang tidak bersalah kembali harus dikhawatirkan oleh kondisi yang  mulai tidak kondusif. Rakyat menjadi khawatir, akan kondisi keamanan mereka. Terbesit tanya di benak mereka akankah peristiwa puluhan tahun lalu kembali terulang? akankah keadaan yang selama 6 tahun ini mereka rasakan baru akan hilang dan kembali ke keadaan sebelumnya? Tentu masyarakat tidak ingin masa kelam itu kembali terulang. Para pemimpin yang memiliki kewenangan dan kekuasaan seharusnya lebih memikirkan kondisi rakyatnya bukan memperebutkan kekuasaannya demi kepentingan sekelompok. Rakyat telah lelah berjuang, rakyat telah lelah meraskan peperangan dan bahkan menjadi korban selama ini. Rakyat ingin memperoleh rasa keamanan dan kesejahteraan. Mereka tidak ingin kondisi kelam yang telah lalu berulang. Alangkah sedihnya kondisi rakyat ketika dalam pengungsian. Mereka tidak hak aman yang harus mereka peroleh harus dikorbankan demi kepentingan sejumlah orang. Kedamaian janganlah menjadi korban sehingga rakyat akan menderita. Ada oknum-oknum tertentu yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk mengusik kedamaian yang telah berjalan. Marilah kita bangun Aceh dengan bersama-sama demi kepentingan rakyat yang memiliki banyak harapan untuk kemajuan negeri bumi Serambi Mekkah ini. Apakah harus azab seperti yang terjadi tahun 2004 lalu terulang kembali dikarenakan ulah kelompok-kelompok yang ingin memiliki kekuasaan dengan cara mengataskannamakan rakyat namun tidak memikirkan kepentingan rakyatnya. Rakyat Aceh ingin kedamaian, rakyat Aceh ingin hidup aman dan sejahtera. Bangun bumi Aceh ini dengan cara yang baik tanpa harus ada pertumpahan darah, utamakan kepentingan rakyat yang ingin hidup aman dan sejahtera.

Revolusi Penjara Menjadi Sebuah Pesantren


Kondisi Alumni Penjara
Indonesia saat ini sedang mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain masalah kemiskinan yang tak kunjung selesai, kriminalitas pun semakin meningkat. Bahkan tidak ada jalan keluar untuk penyelesaian masalah kriminalitas, tidak ada penurunan tingkat kriminalitas walaupun telah dilakukan berbagai macam hukuman. Ironisnya, banyak dari alumni dari hotel prodeo ataupun bisa kita sebut sebagai narapidanawan yang telah mendekam sekian lama di dalam penjara mengulangi kejahatannya hingga berulangkali. Disayangkan sekali, alumni-alumni lulusan lembaga pemasyarakatan tidak ada yang bisa dijadikan contoh dan bahkan sering dikucilkan dalam masyarakat. Penjara hanya dijadikan tempat persinggahan, bukan menjadi tempat pemulihan dan penyadaran bagi yang telah dinyatakan bersalah. Konon, orang yang telah merasa bersalah dan dijebloskan ke penjara biasanya berada pada titik nol. Sejatinya, dalam kondisi seperti itu sangat mudah untuk merubah pemikiran mereka agar sadar dan kembali melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, dan meninggalkan serta melupakan tindak kriminal yang pernah dilakukannya.

Penjara Saat Ini
Istilah penjara, mungkin menjadi hal yang kurang atau tidak menyenangkan bagi diri manusia, terlebih bagi orang-orang yang memiliki kesalahan baik kriminal maupun kejahatan non-kriminal yang notabene dapat merugikan orang lain. Setiap orang yang divonis bersalah selalu berhubungan dengan penjara setelah melalui proses di pengadilan. Mereka mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya sesuai hukum yang telah diatur dalam undang-undang. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar bangsa kita saat ini adalah seberapa besar pengaruh penjara terhadap tingkat kejahatan di negeri ini.
     Alangkah sedihnya saat  ini, para narapidana yang ada di dalam penjara bukan untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya, bahkan melanjutkan kejahatannya. Seperti banyak fakta yang didapat di mana para narapidana melakukan peredaran narkoba di dalam Lembaga Permasyarakatan. Penjara seperti tidak ada manfaatnya, penjara bahkan menjadi pusat peredaran narkoba bagi narapidana. Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Penjara yang seharusnya menjadi tempat yang bisa dipercaya untuk memulihkan para-para penjahat yang sangat meresahkan, malah menempah bakat para penjahat. Bahkan mereka yang sebelumnya sangat amatir dalam kejahatan menjadi sangat profesional setelah mereka keluar dari penjara.
                Dari berbagai kasus yang terjadi di penjara dalam periodesasi sejarah narapidawan di negeri ini selalu ada terdengar ke publik tentang para tersangka yang bebas keluar masuk penjara kapanpun dia mau selama dia masih memiliki uang untuk membeli kekuasaan dan keadilan. Seperti kasus Gayus Tambunan misalnya, yang bisa bebas kemanapun dia mau. Padahal dia berstatus sebagai tersangka dan melakukan proses hukuman di penjara. Ada juga para mafia hukum, tersangka kasus korupsi lain yang menjadikan penjara sebagai tempat istirahat layaknya hotel bintang 5. Mereka bisa menikmati apapun yang mereka mau. Kalau kasusnya demikian, untuk apa dibuat penjara yang hanya  menghabiskan APBN setiap tahunnya? Mau dikemanakan negeri ini kalau para penjahat bisa bebas dan melakukan kejahatannya berulang kali dan tidak ada efek jera? Yang selama ini menjadi amanat undang-undang dalam pembentukan penjara. Para penjahat yang tidak memiliki uang bagaikan imbas dari keburukan penjara. Bagaimana tidak, dari kondisi psikis jelas akan timbul kecemburuan sosial dengan para tahanan yang memiliki uang. Sehingga imbasnya mereka akan brutal dan mengulangi kejahatannya akibat dari rasa tidak puas karena tidak adanya keadilan yang mereka terima. Mereka tidak bisa berontak karena tidak memiliki wewenang dan kekuasaan, di mata mereka kekuasaan hanya milik orang-orang yang memilki uang.
Tidak sedikit narapidana yang medekam dipenjara merupakan wajah-wajah lama yang telah berulang kali masuk penjara. Jadi di mana letak kegunaan penjara yang selama ini dikenal sebagai suatu tempat menebus dosa dan efek jera bagi para tersangka, yang kenyataannya mereka tidak memiliki rasa jera dan tidak ada perubahan yang terjadi pada diri mereka. Untuk apa vonis hukuman 10 hingga 20 tahun namun tidak ada manfaatnya bagi narapidana. Ini merupakan realitas umum yang kita dapatkan saat ini. Jelas ada yang salah dari sistem penjara itu sendiri. Yang seharusnya menjadi tempat perbaikan moral, bukan malah menjadi tempat penghancuran moral. Itulah yang terjadi saat ini, masyarakat mulai berpikir untuk apa adanya penjara kalau tindak kejahatannya semakin meningkat.

Revolusi Penjara
Untuk itu sebaiknya sudah saatnya pemimpin-pemimpin negeri ini dapat memikirkan sebuah revolusi bagi penjara! Revolusi penjara harus segera dilakukan agar masalah ini tidak terlalu lama dan dapat berdampak kepada lunturnya eksistensi jatidiri bangsa dikarenakan kondisi moral anak bangsa sudah berada pada titik yang memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan. Alangkah indahnya jika penjara diubah ibarat menjadi sebuah pondok pesantren (ponpes). Ya, segalanya dibuat layaknya pondok pesantren. Bagaimana di ponpes demikian pula di penjara. Para bang napi diwajibkan beribadah, diajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu modern sesuai dengan kurikulum pondok pesantren (atau dengan ajaran agama masing-masing bagi non-muslim). Semuanya mengadopsi sistem pesantren. Yang membedakannya hanya tempat mereka tidur yang berjeruji besi. Jadi penjara bukan hanya untuk tempat mereka makan tidur, ada perbaikan moral yang dilakukan dalam penjara. Selain itu, para bang napi juga diharuskan menerapkan ilmu-ilmu agama yang telah mereka pelajari, sehingga moral mereka dapat diperbaiki.
Tak hanya itu, mereka juga nantinya akan dibekali ilmu modern seperti bahasa Inggris maupun bahasa Arab. Sehingga keahlian yang ada dalam diri mereka dapat dikembangkan dan bermanfaat setelah mereka keluar dari penjara. Banyak kejahatan terjadi dikarenakan mereka tidak tahu ataupun lupa akan dosa yang didapatkan. Disinilah peran penjara untuk memperbaiki, memberi tahu, bahkan mengingatkan mereka agar mereka tidak melakukannya lagi. Bahkan mereka nantinya akan memiliki keahlian untuk mereka gunakan sebagai media mengais rezeki sehingga kejahatan akan berkurang dan tidak mustahil kejahatan itu akan hilang.
Sistem ini selain dapat menyadarkan mereka juga dapat membentuk kepribadian mereka layaknya ustadz ataupun tokoh agama lainnya. Selama 10 tahun mereka divonis dalam penjara, ibarat 10 tahun mereka berada di pesantren. Maka efeknya akan sangat baik bagi bangsa ini, setelah mereka keluar dipenjara mereka akan menjadi orang yang taat beribadah, berilmu pengetahuan, berakhlak mulia, dan memiliki kematangan profesional yang siap ditempatkan dalam masyarakat layaknya manusia ulul albab. Sehingga tak ada lagi alasan untuk mereka melakukan kejahatan. Bahkan mereka dapat menyadarkan sesama rekan dengan ilmu yang diperoleh selama di penjara. Lantas bagaimana dengan para tersangka yang beragama selain Islam? Sangat jelas bahwa seluruh agama mengajarkan  hal kebaikan bagi setiap manusia. Tidak ada satu agama pun yang menganjurkan tindak kejahatan. Maka dari itu diberlakukan juga kurikulum menurut agama mereka masing–masing yang seluruhnya bertujuan untuk menjadikan alumni penjara menjadi yang bermanfaat di lingkungannya masing-masing setelah mereka menempuh pendidikan di dalam penjara. Kalau ini dapat dilakukan, tindak kejahatan di negeri kita akan berkurang bahkan akan hilang. Dan bangsa kita akan menjadi bangsa yang maju dan sejahtera sesuai yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita. Penjara bukan menjadi neraka bagi para tersangka tapi penjara akan membawa para tersangka menjadi orang-orang yang ahli surga. Semoga !!!

Memo Pendidikan


Ketika kita berbicara tentang memo, maka yang timbul dalam benak kita adalah surat kecil yang ditujukan kepada seseorang. Memo banyak digunakan oleh para pemimpin perusahaan atau sejenisnya sebagi sebuah instruksi atau himbauan kepada para bawahan. Memo sebagai alat bantu untuk mempermudah orang dalam menyampaikan informasi. Namun alangkah miris, ketika memo itu masuk keranah pendidikan, sebagai sebuah titipan yang berlebel himbauan. Ironis memang, ketika tahun ajaran baru memo sangat “laku” untuk digunakan oleh orang-orang yang ingin melanjutka pendidikan. Ya, memo dalam pendidikan diibaratkan sebagai titipan untuk memperlancar proses penerimaan siswa atau bahkan mahasiswa. Memo inilah yang dijadikan alasan oleh para pelaku dunia pendidikan untuk memperlancar proses penerimaan tersebut. Berbagai alasan itu muncul ketika melihat atau menilai dari segi kerabat, keluarga, teman, bahkan orang-orang yang tidak dia kenal. Dengan mengutamakan prinsip “sama-sama untung”. Ya, yang menerima merasa untung begitupun yang diterima. Namun mereka tidak berpikir bahwa keuntungan itu hanyalah sesaat. Yang selanjutnya adalah kualitas instansi pendidikan yang semakin menurun akibat dari penggadaian kualitas itu sendiri. Kualitas digadaikan demi kepentingan lain yang hanya bertujuan sebagai toleransi. Ketika pendidikan telah dipengaruhi oleh toleransi maka yang terjadi adalah kualitas pendidikan yang semakin hilang dan prestasi yang semakin pudar. Banyak dari masyarakat yang menilai bahwa terdapat sekolah atau perguruan tinggi yang berkualitas dan juga favorit sehingga mereka berlomba-lomba agar bisa masuk di instansi pendidikan tersebut. Salah satunya melalui “memo”. Akibatnya instansi tersebut ibarat instansi yang mati karena nilai toleransi, sehingga yang didapat bukanlah prestasi melainkan tidak lebih hanyalah sebatas nilai toleransi. Instansi pendikan bukanlah wadah toleransi apabila ingin mencapai sebuah prestasi. Wallahu’alam

Tuesday 17 April 2012


Budaya Sebagai Wadah Implementasi Diri1
Oleh : Dwi Chandra Pranata )*
Budaya sering disebut sebagai kebiasaan. Dalam arti sesungguhnya budaya adalah hasil karya, cipta, karsa dan rasa dari sebuah peradaban yang secara terun-temurun diwariskan sebagai produk dari sebuah peradaban itu sendiri. Ketika budaya menjadi sebuah kebiasaan, maka yang harus dilakukan adalah menjadikan sebuah kebiasaan itu sebagai tolak ukur kita dalam melakukan suatu kegiatan yang bermanfaat sebagai upaya untuk menjadikan budaya sebagai wadah implementasi diri kita untuk terus berkarya dan melestarikan karya itu sendiri menjadi sebuah budaya. Negara Indonesia sendiri memiliki begitu banyak budaya. Beragam budaya yang timbul dari berbagai suku yang ada di Indonesia, tercatat 138 suku yang mendiami pulau-pulau yang ada diseluruh Indonesia2. Melalui suku tersebut muncullah beragam budaya yang selalu menjadi ciri khas dalam menunjukkan suatu identitas daerahnya masing-masing. Ironis memang ketika budaya selalu dipermasalahkan dalam berbagai kajian yang ada baik dikalangan akademik maupun non akademik. Yang dipermasalahkan sebenarnya hanya hal sepele, yaitu budaya yang tidak diakui ataupun budaya yang diklaim oleh bangsa lain. Kalau dilihat dari kacamata psikologi budaya sebenarnya hanya sebuah identitas, dan identitas itu hanya akan muncul ketika kondisi mental seseorang siap untuk mendapatkan sebuah identitas. Sehingga permasalahan yang terjadi dibangsa kita sebenarnya hanya terletak pada kondisi mental rakyatnya sendiri. Siapkah mereka menerima budaya? Siapkah mereka melestarikan budaya yang diwariskan? Itulah sebenarnya yang menjadi permasalahan besar bangsa kita, kondisi mental yang diibaratkan sebagai mental jajahan. Bagaimana mungkin kita bangga dengan budaya kita sementara kita tidak bisa menjaga tradisi yang sudah diwariskan. Ketika orang lain yang ingin melestariskan kita ibarat orang yang “ kebakaran jenggot “, sementara kita hanya bisa diam tanpa mau berusaha untuk mencari tau dan mempelajari lebih dalam tentang budaya yang kita miliki. Seseorang pernah berkata kepada saya, bahwa budaya saat ini hanya dijadikan sebagai lahan dalam kegiatan ekonomi praktis. Tidak seperti tujuan budaya itu sebenarnya yang diciptakan untuk membangun moralitas bangsa. Sangat ironis memang ketika kita melihat orang asing yang lebih mahir dalam memperagakan budaya kita. Kita sebagai bangsa yang bedaulat hanya bisa diam ketika orang asing datang dan mengepakkan sayapnya dinegeri kita dengan pundi-pundi uang dan identitas asing yang dibawa dari negara mereka masing-masing. Bangsa kita terlena dengan identitas asing yang sudah dikonstruk dalam diri kita bahwa segala sesuatu dari orang asing itu baik. Sesuatu yang lebih, selalu kita menganggap itu dari negara asing. Sementara bangsa kita hanya bisa menyalahkan satu sama lain yang notabanenya adalah bangsanya sendiri. Ditengah kemajuan zaman kita selalu mengikutinya namun tanpa bisa menfilterisasi akibat dari kemajuan zaman itu sendiri. Bayangkan berapa banyak budaya tradisional kita yang telah hilang tanpa jejak. Itulah yang seharusnya dilestarikan, jangan hanya mempersalahkan bangsa lain yang mengkalim budaya kita. Padahal lebih banyak jumlah budaya kita yang hilang dari pada budaya kita yang telah diklaim. Konon, banyak anak-anak memainkan berbagai macam permainan, tarian, maupun olahraga tradisonal yang menjadi produk dari sebuah budaya. Tapi sekarang jika kita perhatikan disekeliling kita, tidak ada budaya itu yang hanya menjadi kenangan yang bisa dikenang namun tidak ada upaya untuk melestarikannya. Yang ada sekarang adalah produk-produk asing yang terus mengkonstruk pemikiran bangsa kita. Game online contohnya yang terus menjadi favorite permainan di setiap lapisan masyarakat kita. Mana sebenarnya jati diri kita sebagai bangsa yang merdeka, bangsa yang berdaulat yang konon katanya memiliki potensi untuk menjadi negara yang maju. Marilah kita wujudkan itu semua, menjadi bangsa yang berbudaya. Bangsa yang memiliki budi dan aya yang sesungguhnya. Mari kita rubah konstuk yang ada dalam diri kita untuk menjadi sosok bangsa yang memiliki jati diri, yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Menjadi bangsa yang bangga akan budayanya sendiri tanpa harus melecehkan budaya orang lain. Bangsa yang besar adalah bangsa yang cinta akan segala sesuatu yang ada dalam diri bangsa sendiri sehingga potensi yang ada dapat dikembangkan menjadi lebih baik dan lebih maju melalui proses implementasi budaya. Jayalah bangsaku, jayalah Indonesiaku, berkibarlah merah putih, semangat juang tanpa henti !!!
Cogito Ergo SUM !!!
Malang, 17 April 2012 @ 23.22 WIB, created by DCP
)* Mahasiswa semester II Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang
Peserta Diklat PRA XIII LKP2M Tahun 2012

1 Representasi renungan dari kajian peserta magang I PRA XIII LKP2M 2012 ( 17 April 2012 )
2 Data Badan Pusat Statistik Nasional

Thursday 8 March 2012

Emosi dan Fanatisme

Disaat kajian psikologis memaparkan tentang materi emosi, teringat dibenak setiap mahasiswa bahwa emosi selalu bersifat negative. Itu timbul dikarenakan selama ini manusia telah dengan sendirinya mendoktrin bahwa segala perilaku negative berasal dari emosi. Emosi selalu dijadikan alasan untuk melakukan perilaku buruk. Namun adakah emosi dijadikan alasan untuk perilaku baik?
sangat jarang kita dapatkan ketika orang melakukan kebaikan mengatakan bahwa itu timbul dari emosi. Mungkin banyak orang yang belum memahami tentang emosi. Padahal kalau kita kaji dari pengertian umum emosi yaitu luapan hasrat yang timbul dari dalam diri manusia. Sehingga tidak etis kalau kita selalu menyalahkan emosi. Manusia diciptakan emosi oleh Allah SWT untuk dipergunakan kearah yangg baik, hasrat yang timbul dari diri kita harus diarahkan kejalan kebenaran. Sebagai contoh manusia yang selalu beribadah dan tidak pernah berbuat jahat itu bukan karena mereka tidak memiliki emosi. Namun lebih dikarenakan mereka dapat mengarahkan emosinya kearah yang baik. Sangat indah ketika manusia menggebu-gebu denagn emosinya untuk pergi kemasjid melaksanakan Sholat berjamaah. Itulah emosi, sangat bermanfaat bila kita bisa menempatkan emosi itu kejalan yang baik dan dalam arah yang positive. Namun yang untuk untuk saya bahas hari ini adalah masalah emosi fanatisme. Dikaitkan dengan perilaku manusia ketika mereka sangat fanatik akan suatu ideologi yang dianut maka hasilnya juga kurang baik. Seorang dosen mengatakan kepada saya janganlah terlalu terhadap apapun itu yang belum mutlak kebenarannya. Hal yang dapat kita fanatikkan adalah masalah ideologi agama sesuai Al-Quran dan Hadist. Namun jika tentang pendapat para tokoh ataupun pendapat ulama maka yang harus dilakukan adalah kita memahaminya dengan cara menelaah dan selalu mencari pendapat lain yang semuanya itu benar. Ya, tidak ada pendapat yang salah, semua pendapat memiliki referensi tergantung bagaimana kita memahaminya dan dari mana referensi itu. Manusia memiliki pemahaman yang berbeda-beda sehingga tidak semua dari mereka dapat menerima ideologi orang lain dikarenakan sikap fanatis yang terlalu dikembangkan. Apabila kita terlalu fanatis tentang apapun itu maka hasilnya akan timbul emosi-emosi yang negative. Ada juga emosi yang positive namun emosi yang positive dikalahkan oleh yang negative. Sehingga akan menimbulkan kesan buruk pada orang lain. Sikap fanatis bermula timbul pada pemahaman seseorang. Lalu berlanjut kepada pemahaman yang stagnan, artinya bahwa mereka menganggap ketika ada paham yang tidak sesuai dengan pemahamannya maka itu dianggap salah dan tidak mau mengkaji lebih dlam tentang pendapat orang lain yang dianggap salah. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan konflik akibat dari emosi yang negative. Fanatisme yang selalu dikedepankan dengan selalu menjelekkan dan meyalahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka. Maka dari itu sangat diperlukan sikap yang terbuka dan mentoleransi terhadap segala hal selama tidak bertentangan dengan keimanan dan aqidah kita. fanatisme memang diperlukan untuk menjaga diri dari hal-hal yang salah. Namun alangkah baiknya ketika kita memandang fanatisme itu sebagai pegangan kita, dan mempelajari hal-hal yang baru. Sehingga kita dapat memahami segala sesuatu dengan bijak tanpa harus menyalahkan orang lain. Melalui pemahaman orang lain banyak ilmu yang bisa didapatkan dan melalui ilmu mereka dapat kita integrasikan dengan pemahaman yang kita miliki. Sehingga kita akan menjadi orang yang bisa memahami orang lain tanpa harus menghilangkan jati diri kita dan ideologi yang kita miliki. Karena sesungguhnya yang benar adalah perubahan, dan yang pasti adalah ketidakpastian. Perubahanlah yang akan dapat membawa kita menjadi lebih baik, perubahan itu adalah perubahan yang berarti dan perubahan yang bermanfaat bagi diri kita dan orang lain. Wallahu’alam
By : DCP, 5 Februari 2012, 17.13 WIB

Terjajah Ditanah Sendiri

Bangsa kita adalah bangsa yang memiliki mental jajahan. Bagaimana tidak lebih dari 3,5 abad bangsa kita dijajah. Secara tidak langsung sangat berpengaruh bagi kondisi mental dan kondisi psikis anak bangsa. Betapa menyakitkan mengingat sejarah masa lalu yang begitu kelam. Itu semua dapat tercermin melalui kondisi saat ini, kondisi yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan. Betapa tidak, bangsa yang besar yang telah merdeka selama hampir 67 tahun dan sudah diakui sebagai bangsa yang berdaulat harus patuh dan tunduk dengan bangsa asing yang kecil wilayahnya dengan negara kita. Ironis, karena ketundukan dan kepatuhan itu bukan disebabkan oleh kesalahan kita. Semua itu lebih disebabkan oleh orang asing yang tidak bisa menerima budaya kita. Namun, apakah kita harus diam saja??

Jum’at pagi ba’da subuh, sudah umum masyarakat kita melakukan aktivitas olahraga pagi, layaknya senam dan olahraga lainnya. Senam yang diirigi dengan musik agar terasa lebih indah dan beremangat. Begitu juga ditempat yang sedang saya singgahi saat ini, senam pada Jum’at sudah menjadi ciri khas sebagai rutinitas masyarakatnya. Pagi itu, seperti biasa senam diiringi dengan musik pop dan lainnya yang dapat membangkitkan semangat senam di pagi hari. Ditengah-tengah kami terdapat orang asing yang juga sedang berdomisili. Ketika mendengar kami senam dengan menggunakan musik yang lumayan keras, secara spontan orang asing itu mematikan musik dan mengatakan untuk diam dan jangan berisik. Apa yang terjadi, masyarakat kita hanya bisa diam menuruti apa mau mereka ibarat “sapi yang ditusuk hidungnya”. Bangsa kita yang bermental penjajah hanya bisa pasrah dan menuruti intruksi mereka. Namun apa harus begitu??
Sahabat, bangsa kita merupakan bangsa yang besar. Bangsa kita sudah merdeka dan memiliki kedaulatan yang utuh. Apakah mungkin tamu menginjak-injak tuan rumah. Bagaimana kita bisa bangkit kalau kondisinya seperti ini. Mana jati diri kita, bagaimana kita mau bertamu jika dirumah sendiri kita harus tunduk oleh tamu. Ingat sahabat, perjuangan tokoh-tokoh pejuang bangsa kita dulu yang tidak mau dijajah dan berjuang mati-matian demi merebut cita-cita kemerdekaan.
Ini negara kita bung, tanah air kita. mengapa harus kita yang mengalah? Megapa kita harus bangga dengan orang yang sejatinya hanya ingin merusak negara kita. Rumah kita, tanah kita mengapa harus orang asing yang berkuasa dan memiliki wewenangsementara kita sebagai pemuda bangsa hany bisa mengalah. Mengapa kita harus takut dengan mereka. Toleransi selalu memiliki batas, ketika tamu yang telah sewenang-wenag dan kurang ajar maka kita wajib mengusirnya. Tidak harus diam dan seakan bangga dengan adanya orang asing ditempat kita. Padahal kalau kita teliti banyak dari mereka merupakan orang-orang pinggiran yang tidak diperhitungkan dinegara mereka. Apalagi ketika mereka telah semena-mena dengan tidak bisa menerima budaya kita maka bukan seharusnya kita yang mengalah namun merekalah yang harus menyesuaikan dengan kondisi tempat tinggal mereka. Sahabat, mari kita bangkit dengan mengedepankan rasa percaya diri kita. Percaya bahwa kemampuan yang kita miliki lebih baik dari pada mereka ( orang asing). Dan janganlah kita membangkan mereka yang tidak patut dibanggakan. Karena itu akan membuat kita merasa minder dan tidak percaya diri. Sehingga akan membuat kondisi semakin terjajah dan selalu terjajah. Saatnya bangkit untuk menunjukkan eksistens kita sebagai bangsa yang besar, layaknya macan yang siap menerkam. Banggalah dengan bangsa sendiri, agar kita menjadi bangsa yang berkarakter dan berwibawa dimata dunia.
Mari sahabat, percayalah akan potensi yang kita miliki, yakinlah akan kemampuan yang ada dalam diri kita. Yang akan dapat mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju, bermartabat dan dapat menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Wallahu’alam

By : DCP, 7 Maret 2012 @23.44 WIB