Pages

Tuesday, 5 January 2016

Wisata Aceh Timur yang Indah, Tapi Dilarang


Mengikuti perkembangan kabupaten Aceh Timur melalui berbagai media. Selain dihebohkan dengan Din Minimi yang turun gunung beberapa waktu. Ada peristiwa lain yang bagi saya harus ada penataan yang lebih jelas. Pemkab Aceh Timur saat ini melalui Dinas Pariwisata nya sedang gencar-gencar melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan wisata Aceh Timur melalui rencana Visit Aceh Timur. 

Namun hal itu seakan berbanding terbalik dengan kejadian pada tanggal 3 siang kemarin. Melalui media Jawa Pos yang saya baca dari Kota Malang, para santri Dayah (Pesantren) bersama FPI melakukan aksi berupa pelarangan wisata yang ada di Pantai Idi Aceh Timur. Ketua FPI Aceh Timur langsung memimpin orasi itu dan mengharuskan masyarakat yang sedang menikmati alam laut untuk kembali kerumah masing masing. Miris ketika masyarakat dilarang untuk berwisata menikmati alam yang sangat indah.


Banyak masyarakat mengeluh dan terkejut dengan aksi ini. Saat liburan, mereka berwisata keluarga untuk menikmati alam dengan biaya yang murah tapi harus dilarang oleh aksi dari FPI dan santri dayah tersebut. Ini tentu akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian kelompok melarang pembukaan pantai di Aceh Timur yang sebenarnya sangat indah. Mereka melarang karena menganggap bahwa itu hanya akan dijadikan sebagai sarang tempat maksiat bagi pengunjung yang datang. Seakan mereka sudah bisa memastikan dan memberikan lebel bahwa yang datang ke pantai akan melakukan maksiat.

Disisi yang lain, masyarakat membutuhkan tempat untuk menikmati alam yang telah diciptakan oleh yang maha kuasa. Selain dekat, wisata pantai di Aceh Timur juga terbilang juga tidak kalah dengan daerah lain, sehingga masyarakat Aceh Timur bisa menikmati wisata dengan biaya yang terjangkau dari pada harus ke Lhokseumawe atau Banda Aceh. Masyarakat sesungguhnya sangat diuntungkan dengan wisata ini. Berbicara perekonomian, dengan adanya tempat wisata di Aceh Timur, masyarakat sekitar akan memiliki penghasilan yang mampu meningkatkan roda perekonomian daerahnya. Itu bisa dilakukan melalui parkir, tiket masuk, bahkan jualan souvenir atau makanan disekitar wisata.


Selain itu, jika daerah kita menarik melalui wisatanya akan mendatangkan banyak orang ke Aceh Timur. Kalau dianggap itu akan terjadi maksiat, yang harus dilakukan adalah mencegahnya. Kita menarik mereka yang ingin berwisata keindahan alam, bukan maksiatnya. Nah, kita ambil contoh Iboh di Sabang misalnya, banyak villa bertebaran untuk menikmati bawah laut Sabang yang sangat indah. Kalau itu menganggap itu akan jadi tempat maksiat bisa saja, tapi kita juga bisa untuk menjadikan itu sebagai wisata yang Islami.

Di Iboh, selama  pengalaman penulis disana, ternyata ada peraturan baik dari Pemda maupu aturan yang sudah menjadi culture budaya masyarakat. Contoh, Villa tidak dijinkan menginap pasangan yang belum berkeluarga. Penulis menanyakan langsung ke pemilik villa disana. Harus menunjukkan buku nikah bagi mereka yang ingin menginap disana. Pengawasan yang dilakukan tersebut tentu akan mencegah terjadi hal yang tidak kita inginkan. Bahkan, di hari Jum’at seluruh aktifitas di Iboh berhenti. Tidak ada kegiatan wisata dan kegiatan apapun di hari Jum’at sebelum jam 2 yaitu setelah Shalat selesai.

Wisata Aceh Timur sangat menarik dan tentu akan menjadi daya tarik orang-orang untuk berkunjung kesini. Tapi semua itu butuh aturan yang jelas dan pemahaman dari semua pihak demi kemajuan daerah Aceh Timur. Dengan begitu citra Aceh Timur akan semakin baik dimata masyarakat Aceh maupun Indonesia. Misalnya pantai, yang tentu akan jadi tujuan masyarakat maka dilakukan pengawasan agar tidak terjadi maksiat. Bukan malah ditutup pantainya yang justru mampu menghasilkan. Aturan itu bisa apa saja, apakah tidak boleh berduaan, harus bersama keluarga atau ada yang mengawasi di sekitar pantai. Itu semua bisa dilakukan. Kalaupun terjadi maksiat, maka pelakunya dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan begitu, wisata tetap jalan maksiat juga mampu untuk dicegah. Menangkap hama padi di sawah itu dengan mencari tikusnya, bukan membakar sawahnya yang bisa dipanen.

Aceh Timur akan menjadi daerah yang maju dan terkenal melalui prestasinya, melalui wisata daerahnya serta melalui citra dari masyarakatnya. Ini hanya kesalahpahaman yang bisa diselesaikan secara bersama dengan kesepakatan antara Pemerintah Daerah, Ulama, dan tokoh masyarakat. Dengan begitu visit Aceh Timur akan benar-benar menjadi kenyataan bukan hanya sebatas target yang sia-sia yaang menyisakan logo dan spanduk yang tidak bermakna. Wallahu’alam


*Ini hanya tulisan mahasiswa Aceh Timur yang suka menikmati alam yang telah diciptakan oleh yang maha kuasa.

No comments:

Post a Comment