Mengikuti
perkembangan kabupaten Aceh Timur melalui berbagai media. Selain dihebohkan
dengan Din Minimi yang turun gunung beberapa waktu. Ada peristiwa lain yang
bagi saya harus ada penataan yang lebih jelas. Pemkab Aceh Timur saat ini
melalui Dinas Pariwisata nya sedang gencar-gencar melakukan kegiatan yang
bertujuan untuk mempromosikan wisata Aceh Timur melalui rencana Visit Aceh
Timur.
Namun hal itu
seakan berbanding terbalik dengan kejadian pada tanggal 3 siang kemarin.
Melalui media Jawa Pos yang saya baca dari Kota Malang, para santri Dayah
(Pesantren) bersama FPI melakukan aksi berupa pelarangan wisata yang ada di
Pantai Idi Aceh Timur. Ketua FPI Aceh Timur langsung memimpin orasi itu dan
mengharuskan masyarakat yang sedang menikmati alam laut untuk kembali kerumah
masing masing. Miris ketika masyarakat dilarang untuk berwisata menikmati alam
yang sangat indah.
Banyak
masyarakat mengeluh dan terkejut dengan aksi ini. Saat liburan, mereka
berwisata keluarga untuk menikmati alam dengan biaya yang murah tapi harus dilarang
oleh aksi dari FPI dan santri dayah tersebut. Ini tentu akan menimbulkan pro
dan kontra di masyarakat. Sebagian kelompok melarang pembukaan pantai di Aceh
Timur yang sebenarnya sangat indah. Mereka melarang karena menganggap bahwa itu
hanya akan dijadikan sebagai sarang tempat maksiat bagi pengunjung yang datang.
Seakan mereka sudah bisa memastikan dan memberikan lebel bahwa yang datang ke
pantai akan melakukan maksiat.
Disisi yang
lain, masyarakat membutuhkan tempat untuk menikmati alam yang telah diciptakan
oleh yang maha kuasa. Selain dekat, wisata pantai di Aceh Timur juga terbilang
juga tidak kalah dengan daerah lain, sehingga masyarakat Aceh Timur bisa
menikmati wisata dengan biaya yang terjangkau dari pada harus ke Lhokseumawe
atau Banda Aceh. Masyarakat sesungguhnya sangat diuntungkan dengan wisata ini.
Berbicara perekonomian, dengan adanya tempat wisata di Aceh Timur, masyarakat
sekitar akan memiliki penghasilan yang mampu meningkatkan roda perekonomian
daerahnya. Itu bisa dilakukan melalui parkir, tiket masuk, bahkan jualan
souvenir atau makanan disekitar wisata.
Selain itu, jika
daerah kita menarik melalui wisatanya akan mendatangkan banyak orang ke Aceh
Timur. Kalau dianggap itu akan terjadi maksiat, yang harus dilakukan adalah
mencegahnya. Kita menarik mereka yang ingin berwisata keindahan alam, bukan
maksiatnya. Nah, kita ambil contoh Iboh di Sabang misalnya, banyak villa
bertebaran untuk menikmati bawah laut Sabang yang sangat indah. Kalau itu
menganggap itu akan jadi tempat maksiat bisa saja, tapi kita juga bisa untuk
menjadikan itu sebagai wisata yang Islami.
Di Iboh, selama pengalaman penulis disana, ternyata ada
peraturan baik dari Pemda maupu aturan yang sudah menjadi culture budaya
masyarakat. Contoh, Villa tidak dijinkan menginap pasangan yang belum
berkeluarga. Penulis menanyakan langsung ke pemilik villa disana. Harus
menunjukkan buku nikah bagi mereka yang ingin menginap disana. Pengawasan yang
dilakukan tersebut tentu akan mencegah terjadi hal yang tidak kita inginkan.
Bahkan, di hari Jum’at seluruh aktifitas di Iboh berhenti. Tidak ada kegiatan
wisata dan kegiatan apapun di hari Jum’at sebelum jam 2 yaitu setelah Shalat
selesai.
Wisata Aceh
Timur sangat menarik dan tentu akan menjadi daya tarik orang-orang untuk
berkunjung kesini. Tapi semua itu butuh aturan yang jelas dan pemahaman dari
semua pihak demi kemajuan daerah Aceh Timur. Dengan begitu citra Aceh Timur
akan semakin baik dimata masyarakat Aceh maupun Indonesia. Misalnya pantai,
yang tentu akan jadi tujuan masyarakat maka dilakukan pengawasan agar tidak
terjadi maksiat. Bukan malah ditutup pantainya yang justru mampu menghasilkan.
Aturan itu bisa apa saja, apakah tidak boleh berduaan, harus bersama keluarga
atau ada yang mengawasi di sekitar pantai. Itu semua bisa dilakukan. Kalaupun
terjadi maksiat, maka pelakunya dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dengan begitu, wisata tetap jalan maksiat juga mampu untuk dicegah. Menangkap
hama padi di sawah itu dengan mencari tikusnya, bukan membakar sawahnya yang
bisa dipanen.
Aceh Timur akan
menjadi daerah yang maju dan terkenal melalui prestasinya, melalui wisata
daerahnya serta melalui citra dari masyarakatnya. Ini hanya kesalahpahaman yang
bisa diselesaikan secara bersama dengan kesepakatan antara Pemerintah Daerah,
Ulama, dan tokoh masyarakat. Dengan begitu visit Aceh Timur akan benar-benar
menjadi kenyataan bukan hanya sebatas target yang sia-sia yaang menyisakan logo
dan spanduk yang tidak bermakna. Wallahu’alam
*Ini hanya
tulisan mahasiswa Aceh Timur yang suka menikmati alam yang telah diciptakan
oleh yang maha kuasa.
No comments:
Post a Comment